Telkom University dan Gerakan Hejo Gelar Diskusi “Trash to Treasure”, Soroti Darurat Sampah di Jabar
OBYEKTIKA – Persoalan sampah di Jawa Barat kian memasuki fase darurat. Hal ini menjadi sorotan dalam forum diskusi bertajuk “Trash to Treasure: Inovasi & Kolaborasi untuk Strategi dan Solusi Sampah Berkelanjutan”. Acara digelar oleh Telkom University bersama Gerakan Hejo, Rabu (2/7/25). Bertempat di Green Lounge, Gedung Bangkit, Telkom University, Jl. Telekomunikasi No.1, Terusan Buah Batu, Bandung.
Forum tersebut mempertemukan para akademisi, praktisi teknologi, komunitas lingkungan, pegiat lingkungan, pelaku usaha, dan tokoh masyarakat. Dengan narasumber di antaranya Ketua Umum Gerakan Hejo Drs. Eka Santosa, Prof. A. Zaenal dari ITB, dan Tri Widarmanti, S.Mb.,MM dari Telkom University.
Tri Widarmati saat wawancara dengan awak media menuturkan, pertemuan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dan merumuskan solusi konkret atas krisis pengelolaan sampah di wilayah Bandung Raya dan Jawa Barat secara umum.
“Pertemuan ini kami gagas bukan sekadar silaturahmi, tapi sebagai langkah awal menyatukan suara dan menemukan pola pengelolaan sampah yang tepat bagi karakteristik Indonesia, khususnya Jawa Barat,” ujarnya.
Selanjutnya, Eka Santosa menambahkan, pertemuan ini merupakan bentuk kerja sama Gerakan Hejo dengan Telkom University. Di sini berkumpul para akademisi, para ahli yang sudah berinovasi, dan para pelaku usaha pengelolaan sampah untuk mencari solusi penanganan sampah yang nyata.
“Hari ini kami dari Gerakan Hejo, kerja sama dengan Telkom University. Intinya ingin memberikan sebuah jawaban atas kegelisahan dan kekurangkuasaan kita atas pelayanan soal sampah. Jadi hari ini kita bersilaturahmi, para akademisi, para ahli yang sudah berinovasi nyata, berbuat berbagai solusi sampah, juga para pelaku dari berbagai model menangani sampah, dan juga para pengusaha,” paparnya.
Kritik terhadap Skema PLTSa dan Ketergantungan pada Teknologi Asing
Para narasumber dalam forum ini menyoroti berbagai proyek pengolahan sampah dengan pendekatan waste-to-energy atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Selama ini diklaim sebagai solusi modern namun gagal menjawab persoalan mendasar.
Seperti yang disampaikan Prof. Zaenal, bahwa proyek PLTSa di Bali dan Surabaya yang sudah diresmikan Presiden, justru bermasalah di lapangan.
“Di Bali, fasilitas tersebut ditutup hanya enam bulan setelah diresmikan karena menimbulkan bau dan tidak efisien secara ekonomi. Di Surabaya, output listrik dari PLTSa jauh dari yang dijanjikan, publikasi menyebut 12 MW, namun realisasi hanya 3,75 MW yang dibeli PLN,” tuturnya.
Ia juga mengatakan, “Kita tidak bisa menyamakan pengelolaan sampah di Jerman atau Jepang dengan Indonesia. Karakteristik sampah kita 60 persen basah, dan itu perlu pendekatan berbeda”.
Solusi Lokal: Waste to Agriculture dan Teknologi Terintegrasi

Sebagai alternatif, Prof. Zaenal menyoroti keberhasilan sejumlah teknologi lokal yang berbasis pada Waste to Agriculture (WTA) dan Waste to Agriculture and Energy (WTAE). Konsep ini dinilai lebih sesuai dengan karakter agraris Indonesia serta mendukung ketahanan pangan dan energi.
Masih menurutnya, berbagai kampus seperti ITB, Telkom University, dan lainnya turut memaparkan hasil riset dan penerapan lapangan yang menunjukkan bahwa sampah bisa diolah langsung di tingkat lokal. Tanpa harus bergantung pada TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
“Secara teknologi, solusi ini sudah ada. Bahkan sudah diterapkan di beberapa daerah dan terbukti berhasil. Sayangnya, banyak inovator lokal belum diakomodir pemerintah,” ucapnya.
TPA Sarimukti Disorot
Forum ini juga menyoroti kondisi TPA Sarimukti yang kini kelebihan kapasitas. Salah satu pandangan datang dari Eka Santosa. Ia menyebut bahwa lokasi tersebut sudah tidak layak dan menimbulkan dampak lingkungan serius. Termasuk pencemaran air yang mengalir ke Sungai Citarum dan Waduk Cirata.
“Kita lihat kualitas lindih yang masuk ke Citarum. Wajar jika Menteri KKP menyebut ikan di Danau Cirata tidak layak konsumsi,” ujar Eka yang sempat menjabat sebagai Ketua Forum DAS Citarum.
Sebagai solusi jangka pendek, Eka Santosa mendorong pembukaan fasilitas pengolahan Legok Nangka yang dinilai lebih layak dan representatif. Ia juga meminta agar pemerintah berhenti memaksakan ekspansi TPA ke kawasan hutan, yang mengancam hilangnya ratusan hektare lahan hijau.
Rekomendasi untuk Gubernur dan Pemerintah Pusat
Eka juga mengusulkan pembentukan Badan Penanganan Sampah di bawah otoritas Gubernur Jawa Barat atau bahkan langsung di bawah Presiden. Mengingat masalah ini sudah berskala provinsi dan nasional.
“Kalau pusat perlu badan nasional, daerah pun perlu otoritas khusus. Kondisi TPA seperti Sarimukti hingga TPA di Cirebon sudah terlalu padat. Kita kehilangan hampir 200 hektare hutan untuk sampah,” ungkapnya.
Darurat sampah di Jawa Barat menuntut solusi menyeluruh berbasis inovasi dan kolaborasi. Forum ini menjadi bukti bahwa masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha siap berkontribusi.
“Asalkan ada kemauan politik dan keberanian untuk memberi ruang bagi teknologi dan solusi lokal. Jangan biarkan sindikasi lama terus menguasai pengelolaan sampah. Ini bukan soal teknologi semata, tapi soal keberpihakan pada rakyat, lingkungan, dan masa depan,” tutup Eka Santosa.

Diskusi dari forum ini pun menghasilkan kesepakatan untuk menyusun rekomendasi tertulis yang akan disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat dan pemerintah pusat, termasuk Presiden. Dalam waktu dekat, panitia akan menyelenggarakan forum lanjutan dalam format hybrid agar lebih banyak pihak dapat terlibat.
“Kami ingin suara masyarakat, inovator, dan akademisi ini didengar langsung oleh pemerintah. Mudah-mudahan rekomendasi dari forum ini menjadi awal perubahan arah kebijakan,” ujar Tri Widarmanti menutup wawancara.* (IG)